Senin, 14 November 2011

AYAT MUTASYABIHAT

7 tahapan salaf dalam menangani text mutasyabehat
oleh Qultu Man Ana Juz-dua pada 14 November 2011 jam 17:42

Oleh Abulhasan al-asyari

* Pertama: Dalam Al-Qur'an ada dua jenis ayat yang utama.

Allah s.w.t. berfirman yang
maksudny:
Dia-lah yang menurunkan Al
kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah isi utama Al-Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat.
Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat
daripadanya untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta'wilnya. Padahal, tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata:"Kami beriman kepada ayat-ayat
yang mutasyabihat,semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal [Surah Ali Imran: 7]

Pertama: Ayat-ayat Muhkamat
Kedua: Ayat-ayat Mutasyabihat
Apa perbedaan antara kedua jenis ayat tersebut?
Ayat-ayat Muhkamat adalah
ayat2 yang lafadnya mudah
difahami dan jelas maknanya.
Ayat-ayat Mutasyabihat adalah ayat2 yang lafadnya sukar difahami dan samar
maknanya.
Al-Qur'an juga menyebut (dalam ayat tadi), nas-nas mutasyabihat ada ta'wilnya.
Apa makna ta'wil? Ta'wil dalam
penggunaan umum adalah makna lain bagi suatu lafad selain dari makna dhahir dari sudut bahasa.
Contohnya: "Bulan masuk ke
dalam kedai". ini ada ta'wilnya
kerana yang dimaksudkan dgn bulan di sini adalah seorang yang indah sedang masuk ke dalam kedai tersebut. Maka, lafad bulan
digunakan secara kiasan atau
pinjaman dan sebagainya,
menunjukkan ketinggian bahasa seseorang. Al-Qur'an
mengandungi uslub bahasa yang tertinggi dalam ukuran bahasa Arab, maka sudah tentu tidak kosong dari konsep atau kaedah kiasan dan sebagainya. Sebab itulah adanya nas-nas mutasyabihat yang tidak boleh difahami dengan makna dahir atau dengan maknanya dari sudut bahasa.
Bagi ayat-ayat Muhkamat, tidak ada masalah untuk memahami makna dahir bagi lafad-lafad tersebut. Adapun bagi ayat-ayat mutasyabihat, cara berinteraksi dengannya tidak sama dengan ayat-ayat muhkamat. Antara kesalahan yg mengaku salafi adalah, mereka memahami nas-nas
mutasyabihat dgn cara yg sama sebagaimana mereka
memamahami nas-nas
muhkamat. Siapa yg mengajarkan mereka cr itu? Adakah mereka tidak tahu ada keluasan penggunaan
sesuatu lafad dalam bahsa Arab seperti uslub kiasan,
perumpamaan dan sebagainya?
Wallahu a'lam..Hati-hatilah.
Tdk semua orang yang berdalil dgn ayat-ayat Al-
Qur'an itu memahaminya dengan femahaman yang sahih.
Mu'tazilah sesat bukan karena tdk membaca atau tdk merujuk Al-Qur'an, tapi
mereka merujuk Al-Qur'an
tetapi memahaminya dengan
femahaman yang salah. Siapakah yang mengajarkan kepada mereka (mujassimah) agar berpegang dengan makna dhahir Bagi nas-nas
mutasyabihat?
Berwaspadalah, krn Rasulullah
s.a.w. tlh bersabda yang maksudnya brg siapa yang
berbicara tentang Al-Qur’an
dengan pendapatnya semata-
mata tanpa ilmu, maka baginya tempat dalam neraka. [hadits riwayat Imam
Ahmad (1/269) daripada Saidina Ibn Abbas r.a., Imam At-Tirmizi (8/277) dan Imam At-Tabari]

** Kedua: Lafad-lafad seperti
Yad Allah, Istawa dan sebagainya Adalah Mutasyabihat

Jadi, setelah kita faham ayat-
ayat Al-Qur'an ada dua jenis yang utama, maka apa kedudukan ayat-ayat seperti yad Allah, istawa dan sebagainya?
Imam At-Tabrani (360 H) yang
merupakan seorang ulama’
tafsir ikut meletakkan nas-nas seperti yadd, istiwa dan
sebagainya sebagai nas-nas
mutasyabihat dengan menukilkan perkataan ulama’
salaf. Beliau berkata dalam
tafsirnya:-
ﻭﻗﺎﻝ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺍﻟﻔﻀﻞ: ( ﻫﻮ ﺳﻮﺭﺓ ﺍﻟﺍ ﺧﻼﺹ ﻵﻧﻪ ﻟﻴﺲ ﻓﻴﻬﺎ ﺇﻻ ﺍﻟﺘﻮﺣﻴﺪ ﻓﻘﻂ ﻭﺍﻟﻤﺘﺸﺎﺑﻪ ﻧﺤﻮ ﻗﻮﻟﻪ ﺍﻟﺮﺣﻤـﻦ ﻋﻠﻲ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﺍﺳﺘﻮﻱ ﻃﻪ : 5( ﻭﻧﺤﻮ ﻗﻮﻟﻪ ﺧﻠﻘﺖ ﺑﻴﺪﻱ 75]، ﻭﻧﺤﻮ ﺫﺍﻟﻚ
ﻣﻤﺎ ﻳﺤﺘﺎﺝ ﻋﻨﻬﺎ ﺇﻟﻰ ﺗﺄﻭﻳﻠﻬﺎ ﻓﻲ ﺍﻹﺑﺎﻧﺔ
Muhammad bin Al-Fadhl berkata:
(muhkam) adalah Surah Al-
Ikhlas krn tiada di dalamnya
melainkan tauhid semata-mata, Adapun mutasyabih seperti firman Allah:
ﺍﻟﺮﺣﻤـﻦ ﻋﻠﻲ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﺍﺳﺘﻮﻱ )) dan firman Allah
( ﺧﻠﻘﺖ ﺑﻴﺪﻱ )) dan sebagainya yang memerlukan
kepada ta’wil untuk menjelaskannya.
Jelas menurut Imam Muhammad bin Al-Fadhl, ayat-ayat seperti istiwa’ dan yadd Allah adalah nas-nas mutasyabihat yang samar
dari sudut maknanya. Maka,
kenapa mujassimah memahami yadd, istawa dan sebagainya yang merupakan nas-nas mutasyabihat dengan makna dhahir, padahal nas-nas mutasyabihat tidak difahami begitu krn samar maknanya dan ada kmgkinan makna2 lain bagi lafad tersebut.
Imam Muhammad bin Al-Fadh ini hidup pada zaman salaf,
menunjukkan bagaimana as-
salaf as-sholeh memahami lafaz- lafaz seperti yadd dan
sebagainya adalah lafad-lafad
mutasyabihat (samar maknanya).
au ah, mungkin menurt salafi, Ibn Taimiyyah lebih salafi dari Imam Muhammad bin Al-Fadhl dan lebih dekat kepada salaf di banding Imam At-Tabrani?

*** Ketiga: Kedudukan Nas-nas Mutasyabihat seperti Yadd Allah dan sebagainya

Kalau dalam Al-Qur'an, Allah s.w.t. menyebut lafad "yadd" bagi makhluk/ manusia, maka makna yadd tersebut adalah suatu organ bagi suatu jisim dan diterjemah dgn tangan.
Tapi, kalau dalam Al-Qur'an, Allah s.w.t. menyebut lafad yadd Allah, maka makna yadd tersebut berbeda dengan makna lafad yadd utk makhluk, bukan sekadar
berbeda dari sudut kaifiyyat
(tatacara atau bentuk),tetapi
berbeda makna sama sekali,
sebab yadd Allah adalah lafad
mutasyabihat.

Bgmn kedudukan mutasyabihat di situ?
Imam As-Samarqandi (375 H) juga berkata: Dikatakan: Al-
Muhkam itu apa yang jelas
maknanya dan tidak membutuhkan ta’wil. Dan mutasyabih adalah apa yang
lafadnya sama dgn lafad lain
sedangkan maknanya berbeda.
[tafsir Bahr Al-Ulum: Ali Imran ayat ketujuh]
Jadi, disebabkan yadd Allah adalah mutasyabihat, maka
lafadnya mungkin sama dengan lafad "yadd" yg disandarkan pd makhluk tapi
maknanya berbeda.
Jadi, kalau makna yad Allah
berbeda dengan makna lafad
yadd utk manusia, bagaimana bs terjemah yadd Allah dgn tangan Allah sedangkan makna lafad yadd bagi kedua-
duanya (Allah dan makhluk)
berbeda? Begitu juga dengan
seluruh nas-nas mutasyabihat yang lain. Jadi, dengan menterjemahkan yadd Allah kepada tangan Allah,ini bs mengelabui orang awam yg padahal maksud
yg benar dari yadd Allah dalam AL-Qur'an tidaklah di maksud suatu anggota bagi dzat Allah s.w.t. yang bisa diterjemahkan dengan "tangan Allah". Kita akan buktikan betapa menterjemahkan lafad mutasyabihat ke dalam bahasa lain dengan makna dari sudut bahasa (makna dhahir) adalah suatu kesalahan menurt salaf sendiri.

**** Keempat: Lafad-lafad
Mutasyabihat Tersebut (yang
dinisbahkan kepada Allah) Tidak Difahami dengan Makna dohir (dari sudut bahasa)

Ssorg tdk boleh memahami
makna Allah fis Sama' atau Istawa 'ala Al-Arasy dengan
makna dhahir yaitu Allah s.w.t.
bertempat atau berada di atas langit, sebagaimana pegangan orang-orang musyrikin dan ahli kitab.Bahkan, Al-Qur'an tidak pernah mewajibkan kita memahami nas-nas mutasyabihat dengan makna
dhahir sehingga menetapkan
batasan bagi dzat Allah s.w.t.
yaitu terbatas di atas langit (di atas Arasy).
Sedangkan sifat-sifat Allah tiada batasannya, apatah lagi dzat Allah s.w.t.? Jadi, femahaman ini salah wahai dhahiriyyah (golongan terlalu berpegang dengan dhahir ayat).
Baca perkataan Imam Al Kirmani r.a.:
ﻗﻮﻟﻪ ( ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ( ﻇﺎﻫﺮﻩ ﻏﻴﺮ
ﻣﺮﺍﺩ ، ﺇﺫ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﻨﺰﻩ ﻋﻦ ﺍﻟﺤﻠﻮﻝ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﻜﺎﻥ
Maksudnya: "Perkataan Allah "fis sama'" maka makna dhahirnya bukanlah yang dimaksudkan oleh Allah s.w.t. krn Allah s.w.t. tidak bertempat di tempat manapun, [Fath Al-Bari: 13/412].
Imam Al-Qurthubi berkata:
ﻣﺬﻫﺐ ﺍﻟﺴﻠﻒ ﺗﺮﻙ ﺍﻟﺘﻌﺮﺽ
ﻟﺘﺄﻭﻳﻠﻬﺎ ﻣﻊ ﻗﻄﻌﻬﻢ ﺑﺎﺳﺘﺤﺎﻟﺔ
ﻇﻮﺍﻫﺮﻫﺎ
Maksudnya: Mazhab Salaf adalah, meninggalkan men
ta’wilnya beserta ketegasan
mereka bahwasanya dhahir
(mutasyabihat) itu mustahil…
[Syarh Jauharah At- Tauhid: 167]
Imam An-Nawawi juga berkata:
ﻭﻫﻮ ﻣﺬﻫﺐ ﺟﻤﻬﻮﺭ ﺍﻟﺴﻠﻒ ﻭﺑﻌﺾ ﺍﻟﻤﺘﻜﻠﻤﻴﻦ، ﺃﻧﻪ ﻳﺆﻣﻦ ﺑﺄﻧﻬﺎ ﺣﻖ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻳﻠﻴﻖ ﺑﺎﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻭﺃﻥ ﻇﺎﻫﺮﻫﺎ ﺍﻟﻤﺘﻌﺎﺭﻑ ﻓﻲ ﺣﻘﻨﺎ ﻏﻴﺮ ﻣﺮﺍﺩ
Maksudnya: Iaitu madhab jumhur Salaf dan sebagian
mutakallimin bahwasanya
seseorang beriman bahwa (nas mutasyabihat) itu benar dari Allah s.w.t. dengan makna yang sesuai dengan Allah serta (makna) dhahir yang diketahui oleh kita bukanlah
yang dimaksudkan... [Syarah
Muslim 6/36]
Oleh kerana itulah, Imam Ibn AL- Jauzi mengkritik mujassimah di zamannya dengan berkata:
ﻗﺎﻟﻮﺍ: ﺇﻥ ﻫﺬﻩ ﺍﻷﺣﺎﺩﻳﺚ ﻣﻦ
ﺍﻟﻤﺘﺸﺎﺑﻪ ﺍﻟﺬﻱ ﻻ ﻳﻌﻠﻤﻪ ﺇﻻ ﺍﻟﻠﻪ
ﺗﻌﺎﻟﻰ. ﺛﻢ ﻗﺎﻟﻮﺍ: ﻧﺤﻤﻠﻬﺎ ﻋﻠﻰ
ﻇﻮﺍﻫﺮﻫﺎ، ﻓﻮﺍ ﻋﺠﺒﺎ ﻣﺎ ﻻ ﻳﻌﻠﻤﻪ ﺇﻻ ﺍﻟﻠﻪ ﺃﻱ ﻇﺎﻫﺮ ﻟﻪ ﻓﻬﻞ ﻇﺎﻫﺮ ﺍﻻﺳﺘﻮﺍﺀ ﺇﻻ ﺍﻟﻘﻌﻮﺩ ﻭﻫﻞ ﻃﺎﻫﺮ ﺍﻟﻨﺰﻭﻝ ﺇﻻ ﺍﻻﻧﺘﻘﺎﻝ
Maksudnya: Mereka (mujassimah) berkata:
Sesungguhnya hadith-hadith
mutasyabihat ini tidak ada yang mengetahuinya kecuali
Allah,Kemudian mereka berkata: Kita tetapkan (maknanya) dengan (makna) dhahirnya. Alangkah anehnya Apa yang tidak diketahui kecuali Allah itu adalah (makna) dhahirnya? Bukankah makna dhahir istiwa itu tiada lain melainkan duduk?Bukankah tiada makna dhahir bagi nuzul melainkan berpindah-pindah (yang mana
kesemua makna tersebut tidak layak bagi Allah)? [Daf Syubah At- Tasybih hal 34]

***** kelima: kedudukan orang-orang yang memahami nas-nas mutasyabihat dengan makna dhahir?

Mereka adalah orang-orang
disebut oleh Allah s.w.t.sebagai
tertutup daripada kebenaran
atau mempunyai penyakit dalam hatinya.
Imam Abu Hayyan ketika
menjelaskan makna ''di antara mereka ada yang mengikut mutasyabihat dalam surah Ali Imran ayat tujuh,beliau menyebutkan:
mereka yang berpegang dengan makna dhahir bagi nas-nas mutasyabihat.
)) ﻓﻴﺘﺒﻌﻮﻥ ﻣﺎ ﺗﺸﺎﺑﻪ ﻣﻨﻪ(( ﻗﺎﻝ
ﺍﻟﻘﺮﻃﺒﻲ: ﻣﺘﺒﻌﻮ ﺍﻟﻤﺘﺸﺎﺑﻪ ﺇﻣﺎ
ﻃﺎﻟﺒﻮ ﺗﺸﻜﻴﻚ ﻭﺗﻨﺎﻗﺾ ﻭﺗﻜﺮﻳﺮ، ﻭﺇﻣﺎ ﻃﺎﻟﺒﻮ ﻇﻮﺍﻫﺮ ﺍﻟﻤﺘﺸﺎﺑﻪ: ﻛﺎﻟﻤﺠﻤﺴﺔ ﺇﺫ ﺃﺛﺒﺘﻮﺍ ﺃﻧﻪ ﺟﺴﻢ، ﻭﺻﻮﺭﺓ ﺫﺍﺕ ﻭﺟﻪ، ﻭﻋﻴﻦ ﻭﻳﺪ ﻭﺟﻨﺐ ﻭﺭﺟﻞ ﻭﺃﺻﺒﻊ .
Maksudnya: ((mereka yang
mengikuti kesamaran
daripadanya)) Imam Al Qurthubi berkata: Mereka adalah yang mengikut mutasyabihat apakah menginginkan utk meragukan,
atau mendakwa pertentangan dalam Al-Qur’an atau pengulangan. Adapun, mereka yang menginginkan dhahir-dhahir mutasyabih seperti golongan mujassimah yang menetapkan bahwasanya Allah itu jisim,
menetapkan rupa bentuk bagi
dzat dgn wajah,menetapkan
mata, tangan, bahu, kaki dan
jemari bagiNya… [Al-Bahr Al-
Muhith pada ayat tersebut]
Begitu juga Imam Al-Alusi dalam Ruh Al-Ma’ani menjelaskan ayat tersebut dengan berkata:
)) ﻣﻨﻪ ﻣﺎ ﺗﺸـﺒﻪ ﻓﻴﺘﺒﻌﻮﻥ(( ﺃﻱ
ﻳﺘﻌﻠﻘﻮﻥ ﺑﺬﻟﻚ ﻭﺣﺪﻩ ﺑﺄﻥ ﻻ ﻳﻨﻈﺮﻭﺍ ﺇﻟﻰ ﻣﺎ ﻳﻄﺎﺑﻘﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺤﻜﻢ ﻭﻳﺮﺩﻭﻩ ﺇﻟﻴﻪ ﻭﻫﻮ ﺇﻣﺎ ﺑﺄﺧﺬ ﻇﺎﻫﺮﻩ ﺍﻟﻐﻴﺮ ﺍﻟﻤﺮﺍﺩ ﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺃﻭ ﺃﺧﺬ ﺃﺣﺪ ﺑﻄﻮﻧﻪ ﺍﻟﺒﺎﻃﻠﺔ
Maksudnya: ((mereka mengikut apa yang kesamaran daripadanya)) iaitu mereka bergantung kepadanya (mutasyabihat) semata-mata dan tidak melihat kepada kepada apa
yang sesuai dengannya dalam
ayat muhkam untuk dibandingkan (dikembalikannya) kepadanya.
Iaitu, apakah mengambil dhahir (mengikut makna dhahir mutasyabihat) yang tidak dimaksudkan oleh Allah atau mengambil suatu makna batin yang batil. [Ruh Al-Ma’ani dalam tafsir surah Ali Imran:7]

****** Keenam: Pendirian As-Salaf As-Sholeh terhadap Nas-nas Mutasyabihat

Setelah mereka faham dalam Al- Qur'an ada muhkamat dan
mutasyabihat, lalu memahami
lafad2 seperti yadd Allah dan
sebagainya sebagai nas-nas
mutasyabihat, maka mereka
bersikap menyerahkan makna utk lafad-lafad mutasyabihat itu kepada Allah s.w.t. tanpa membahasnya.
As-Salaf As-SHoleh dan Khalaf
(Ahlus Sunnah wal Jamaah)
sepakat bahwasanya lafad-
lafad mutasyabihat tidak
difahami dengan makna dhahir krn ada makna lain (ta'wil) bagi nas-nas mutasyabihat tersebut.
Lalu, majoriti as-salaf as-sholeh menyerahkan makna utk lafad-lafad tersebut kepada Allah s.w.t.. Ini disebut sebagai tafwidh makna. Berbeda dengan tafwidh Ibn Taimiyyah dan Taimiyyun (pengikut fahaman Ibn Taimiyyah zaman ini) yang mentafwidh kaifiyyat (menyerahkan tatacara atau bentuk) mutasyabihat namun pada waktu yang sama,mereka memahami nas-nas
mutasyabihat dengan makna
dhahir dari sudut bahasa,yang
tidak dilakukan oleh majoriti
ulama' as-salaf as-sholeh.

Dr. Yusuf Al-Qaradhawi juga
berkata: Realitasnya, bagi siapapun yang membaca karangan para ulama'salafus soleh berkenaan ayat-ayat mutasyabihat tersebut,maka ia akan dapati bahwa,kebanyakkan daripada mereka meninggalkan usaha
untuk mendalami makna ayat-ayat mutasyabihat tersebut,
tidak bersusah-payah untuk
mentafsirkannya dengan ungkapan apapun. (Ini manhaj
tafwidh menurut salafus soleh).
"Perkara ini jelas bahkan hampir sampai kepada tahap
muttafaqun alaih (disepakati oleh ulama') sebelum kelahiran
Sheikhul Islam Ibn Taimiyah dan madrasahnya (pemikiran dan manhajnya yang tersendiri)… [Fusulun fil Aqidah 40-41]. Rujuk juga kata-kata beliau dalam buku Al-Qaul At-Tamam karangan
Ustaz Sheikh Saif Al-Ashri].
Lihatlah betapa Dr. Yusuf Al-
Qaradhawi membedakan madrasah pemikiran Ibn Taimiyyah dalam masalah
mutasyabihat dengan para
ulama' as-salaf yang mana
pegangan mereka adalah tafwidh makna (serahkan makna bagi nas-nas mutasyabihat) kepada
Allah s.w.t., berbeda dengan Ibn Taimiyyah dan Taimiyyun yang memahaminya dengan makna dhahirnya.
Kita nukikan sedikit perkataan
As-Salaf (kerana keterbatasan waktu dan ruang): utk membuktikan As-Salaf As-Sholeh berpegang dengan manhaj tafwidh makna (serahkan makna
sebenar kepada Allah s.w.t.)
tanpa memahaminya dengan
makna dari sudut bahasa atau secara dhahir. Ini sebagian buktinya:
Pendapat Imam Ahmad wahai
saudara sekalian: Imam Ibn
Qudamah meriwayatkan
perkataan Imam Ahmad bin
Hanbal r.a. yang berkata:
ﻧﺆﻣﻦ ﺑﻬﺎ ﻭﻧﺼﺪﻕ ﺑﻬﺎ ﻻ ﻛﻴﻒ ﻭﻻ ﻣﻌﻨﻰ ،
Maksudnya: Kita beriman
dengannya (ayat nuzul dan
sebagainya) dan membenarkannya tanpa kaif dan tanpa makna. [Lam’atul
I’tiqad hal 9]
Imam Ahmad sepakat utk tidak menetapkan makna apapun bagi nas-nas mutasyabihat,maka darimana kamu mengambil cara memahami nas- nas mutasyabihat wahai orang
yang mengaku salafi? Mengaku saja tidak cukup.
Imam Ibn Rajab Al-Hanbali r.a.
menjelaskan pendirian assalaf
dengan berkata juga:
ﻭﺍﻟﺼﻮﺍﺏ ﻣﺎ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺴﻠﻒ ﺍﻟﺼﺎﻟﺢ ﻣﻦ ﺇﻣﺮﺍﺭ ﺁﻳﺎﺕ ﺍﻟﺼﻔﺎﺕ ﻭﺃﺣﺎﺩﻳﺜﻬﺎ ﻛﻤﺎ ﺟﺎﺀﺕ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺗﻔﺴﻴﺮ ﻟﻬﺎ …
ﺧﺼﻮﺻﺎ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺃﺣﻤﺪ ﻭﻻ ﺧﻮﺽ ﻓﻲ ﻣﻌﺎﻧﻴﻬﺎ .
Maksudnya: Apa yang benar
adalah, apa yang dipegang oleh Salaf Soleh yang membiarkan ayat-ayat sifat dan hadith-hadithnya sebagaimana ia disebutkan tanpa tafsir...khususnya Imam Ahmad yang tidak mendalami langsung akan makna- makna (mutasyabihat) [Fadhl Ilm As-
Salaf ala Al-Khalaf: 30]

Saya setuju dengan pendirian
Imam Ibn Al-Jauzi Al-Hanbali ra.
dalam menolak mujassimah
seraya berkata: "Mereka (mujassimah yang berlindung
dalam kelompok hanabilah)
berkata: Kita berpegang dengan dhahirnya (makna dhahir nas mutasyabihat tersebut), sedangkan makna
dhahirnya mengandung ciri-ciri manusia (kejisiman dan
sebagainya). Seolah-olah,sesuatu itu perlu ditetapkan
dengan hakikatnya (makna
dhahirnya). Namun, dalam waktu yang sama, mereka berusaha bersembunyi dari tasybih, dan mendakwa sebagai ahlus- sunnah,padahal apa yang mereka lakukan hakikatnya adalah tasybih,Bahkan, femahaman mereka turut di ikuti oleh sebagian orang awam." [Daf' Syubah At- Tasybih: 3].
Kalau mau nukilan banyak lagi
tentang manhaj as-salaf terhadap nas-nas mutasyabihat,maka bisa baca lgsg buku para ulama'2 muktabar yang terdahulu
termasuklah karangan para
ulama' as-salaf sendiri,bukan cm yg mengaku2 salafi saja.

******* Ketujuh:Menterjemahkan Nas- nas Mutasyabihat kepada Bahasa
Asing (A'jam) Dari Sudut Bahasa (dengan Makna dohir)

Ini perbuatan yang ditolak oleh Salaf As-Soleh berdasarkan tiga faktor.
Pertama: Sudah jelas bahwasanya As-Salaf AsSholeh menyerahkan
makna utk lafad- lafad
mutasyabihat kepada Allah
s.w.t. krn mereka tidak
memahaminya dengan makna
dhahir scra bahasa. Sesuatu yang tidak diketahui maknanya, maka bagaimana bisa menterjemahkannya ke bahasa lain?
Kedua: Mereka melarang daripada Mentafsirkan nas-nas mutasyabihat. Ini krn,
mereka sudah menyerahkan
maknanya kepada Allah s.w.t.
bahwasanya hanya Allah s.w.t.
saja yang mengetahui makna
nas-nas mutasyabihat tersebut.
Jadi, sesuatu lafad yang tidak
boleh ditafsirkan bererti tidak
boleh juga diterjemahkan secara bahasa (literal) krn
terjemahan adalah sebagian
daripada penafsiran.
Larangan tafsiran nas-nas
mutasyabihat di menurt Salaf:-
Imam Al-Baihaqi berkata:
ﺃﻣﺎ ﺍﻟﻤﺘﻘﺪﻣﻮﻥ ﻣﻦ ﻫﺬﻩ ﺍﻷﻣﺔ ﻓﺈﻧﻬﻢ ﻟﻢ ﻳﻔﺴﺮﻭﺍ ﻣﺎ ﻛﺘﺒﻨﺎ ﻣﻦ ﺍﻵﻳﺎﺕ ﻭﺍﻷﺧﺒﺎﺭ ﻓﻲ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺒﺎﺏ
Maksudnya: Golongan terdahulu (salaf) dalam umat ini, mereka Tidak menafsirkan apa yang kita tuliskan (riwayatkan) dari ayat Al-
Qur’an dan hadith pada bab ini
(mutasyabihat). [Al-Asma’
wa As-Sifat: 407]
Imam Az-Zahabi turut
meriwayatkan dengan berkata:
ﻭﺍﻟﻤﺤﻔﻮﻅ ﻋﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ
ﺭﻭﺍﻳﺔ ﺍﻟﻮﻟﻴﺪ ﺑﻦ ﻣﺴﻠﻢ ﺃﻧﻪ ﺳﺄﻟﻪ ﻋﻦ ﺃﺣﺎﺩﻳﺚ ﺍﻟﺼﻔﺎﺕ، ﻓﻘﺎﻝ: ﺃﻣﺮﻫﺎ ﻛﻤﺎ ﺟﺎﺀﺕ ﺑﻼ ﺗﻔﺴﻴﺮ
Maksudnya: Diriwayatkan
secara terpelihara (sanadnya)
daripada Imam Malik dengan
riwayat Al-Walid bin Muslim
bahawasanya beliau bertanya
kepadanya (Malik) tentang
hadith-hadith sifat maka beliau berkata: Laluinya sebagaimana adanya tanpa tafsir... [Siyar A’laam An-Nubala’ 8/105]
Ketiga: Ada sandaran daripada
As-Salaf as-Shaleh secara jelas melarang terjemahan atau tafsiran nas-nas mutasyabihat kepada bahasa asing.
Imam Sufian bin Uyainah
berkata:
ﻣﺎ ﻭﺻﻒ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﺒﺎﺭﻙ ﻭﺗﻌﺎﻟﻰ ﺑﻪ
ﻧﻔﺴﻪ ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺑﻪ ، ﻗﺮﺍﺀﺗﻪ ﺗﻔﺴﻴﺮﻩ ، ﻭﻟﻴﺲ ﻷﺣﺪ ﺃﻥ ﻳﻔﺴﺮﻩ ﺑﺎﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ﻭﻻ ﺑﺎﻟﻔﺎﺭﺳﻴﺔ
Maksudnya: Apa yang Allah
sifatkan tentang diriNya dalam kitabNya maka bacaannyalah tafsirnya (hanya lafad saja). Tiada siapapun boleh mentafsirkannya dgn bahasa
Arab ataupun dalam bahasa
Farsi. [Al-Asma’ wa As-Sifat:
314]
Apa yang dimaksudkan dengan: Bacaannya adalah
tafsiranny maknanya, cukup
menetapkan lafadnya tanpa perlu memahami maknanya scra bahasa. Ini berdasarkan
perkataan selanjtnya:-Tiada siapapun boleh menafsirkannya.
Maknanya, tidak boleh
memahaminya dengan makna
scra bahasa Arab itu sendiri
kerana bs membawa kepada
tasybih dan prasangka.
Perkataan beliau lagi: …tidak
boleh menafsirkannya dgn
bahasa Farsi: maknanya,tidak boleh menterjemahkannya ke
dalam bahasa lain berdasarkan maknanya scra
bahasa seperti menterjemahkan yadd Allah
kepada tangan Allah dan sebagainya.
Hakikatnya, hal ini berkaitan
dengan penguasaan seseorang terhadap uslub bahasa Arab itu sendiri di mana As-Salaf As-Sholeh dan majoriti ulama' Islam memahaminya. Maka, mereka
tidaklah menghadapi masalah
dalam berinteraksi dengan nas-nas mutasyabihat sehingga tdk terjerumus kepada femahaman tajsim krn memahami nas-nas mutasyabihat dengan makna
Dahir.
tdk setiap lafad mempunyai makna yang sama dalam setiap susunan ayat. Ini juga trdpt dalam bahasa indo, apatah lagi bahasa Arab yang lebih tinggi kesusasteraannya.
Sebagai contoh, perkataan
tangan itu sendiri. Lafad tangan dalam bahasa indo secara dhahirnya adalah suatu orgAN suatu jasad atau jisim,Tetapi, hanya dengan menambah satu kata saja sebelum lafad tangan seperti menambah lafad "buah" jadi
"buah tangan". Maka, makna
lafad tangan dalam perkataan
"buah tangan" ini tidaklah difahami secara dhahir.
Begitu juga dengan makna
perkataan buah itu sendiri, sudah tidak lagi difahami dengan maknanya dari sudut dhahir.
maka, menjadi satu kesalahan dari sudut bahasa, jika lafad buah tangan diterjemahkan secara literal (dhahir) kepada bahasa lain seperti "fruit of hand" kerana
hal itu menghilangkan maksud
asal dari perkataan "buah tangan" dalam penggunaan bahasa indo.
Apa yang terjadi trhdp mujassimah adalah kesalahan ringan tetapi setelah lafad arab berubah dgn lafad INDO secara literal, maka orang-orang awam yang tidak faham uslub bahasa Arab
yang tinggi, akan faham maksud yang berbeda
dengan maksud yang ingin
disampaikan ketika lafad lafad tersebut belum diterjemahkan dari bahasa asalnya yaitu bahasa Arab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar